Makalah Al qur'an dan As sunah Sebagai Sumber Hukum Islam



Al QUR’AN DAN AS SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhis Semester
Mata Kuliah :  Ushul Fiqih
Dosen Pengampu :  Dr. Abdul Jalil, S.Ag, M.E.I


Description: C:\Users\Personal\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\IMG-20180424-WA0025.jpg

Oleh:

Muh Wafi Abdillah                 (1710110031)                         




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KUDUS
2018



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman pelaksanaanya. Hukum Islam sangat komprehensif, mencakup segala aspek yang ada di lingkungan manusia.Dua sumber pokok yang menjadi landasan dari hukum Islam, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Dua sumber pokok ini menjadi hujjah muslim Muslim seluruh dunia. Para ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan. Begitu juga dengan As-Sunah, sumber kedua dari Al-Qur’an. Karena sunah merupakan  penguat, penjelas, pembuat syari’at dari Al-Qur’an.

B.     Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalan sebagai berikut:
1.      Bagaimana Pengertian Al-Qur’an?
2.      Bagaimana Pengertian As-Sunnah?
3.      Bagaimana kehujjahan Al Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam?
4.      Bagaimana kehujjahan As-Sunnah sebagai Hunber Hukum Islam?

C.    Tujuan Penulisan
Dari rumusan diatas tujuan penulisan makalah yaitu:
1.      Untuk mengetahui pengertian Al-Qur’an
2.      Untuk mengetahui pengertian As-Sunnah
3.      Untuk mengetahui kehujjahan Al Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
4.      Untuk mengetahui kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum





BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Al-Qur’an
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Al-Qur’an. Diantaranya:
1.       Kata Al-Qur’an berasal dari kata benda (mashdar) dari kata fiil Qaraa yang berarti membaca / bacaan. Al Qur’an dari kata Qarain, jamak dari Qarinah yang berarti indikator / petunjuk. Kata Al Qur’an dari kara Qarana yang berarti menggabungkan. Pendapat lain menyatakan kata Al Qur’an dari kata al-qar’u yang berarti himpunan.
2.      Al Qur’an adalah kalam yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis di dalam mushaf, dinukilkan dengan mutawatir, dan membacanya adalah ibadah.[1]
Berbagai definisi Al Qur’an telah diberikan oleh para ulama sesuai dengan latar belakang keahliah mereka masing-masing. Kaum teolog misalnya, cenderung mendefinisikan dari sudut pandang teologis seperti khulabiyyah, Asy’ariyyah, karramiyyah, Maturidiyyah dan penganut sifatiyyah lainnya, berkata: ”Al Qur’an ialah kalam Allah yang qadim tidak makhluk”. Sebaliknya kaum jahmiyyah, muktazilah, dan lain-lain yang menganut faham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, menyatakan bahwa Al Qur’an ialah makhluk (yang tidak qodim)”. Sementara itu, kaum filosofis menyatakan: “Al Qur’an ialah makna yang melimpah kepada jiwa”. Disamping itu ahli bahasa, ilama fikih, ushul fikih, dan para mufassir, lebih menitiberatkan pengertiannya pada teks atau lafal yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surat Al Fatihah sampai dengan An Nas sebagaimana dinyatakan oleh Shubhi al-shalih, Muhammad ‘Ali al-Shabuni, dan lain-lain: Al Qur’an ialah kalam Allah yang mu’jiz, diturunkan kepada Nabi saw dengan perantara Jibril, yang tertulis dalam mushaf mulai dari surat al-fatihah sampai dengan An-nas, yang disampaikan oleh Rasul secara mutawattir, dan membacanya bernilai ibadah.”[2]
  1. Pengertian As-Sunnah
Sunnah secara literal adalah jalan, baik jalan kebaikan ataupun jalan keburukan, sementara sunnah menurut pemaknaan terminologis para muhadditsin, sunnah adalah sabda, perkataan, ketetapan, sifat (watak budi dan jasmani) baik sebelum menjadi Rasulullah SAW. maupun sesudahnya. berdasar definisi ini, sunah merupakan sinonim dari hadits (al-A’zhami,1992:1).para Ushuliyyin mendefinisikan sunnah dengan sabda, perbuatan, ketetapan, sifat yang dapat dijadikan sebagai sumber syariat.[3]
Secara etimologi hadits berarti jadid:baru, lawan dari qadim:lama, qorib:dekat, lawan dari ba’id:jauh, dan khabar:berita.edangkan secara terminologi ialah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik brupa ucapan, perbuatan, pesetujuan dan sifat.[4]
Jadi, As Sunnah ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rosulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun kketetapan beliau.
  1. Kehujjahan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum islam. Otoritas dan otentitas Al-Qur’an tak dapat diragukan lagi kehujjahannya dalam perspektif hukum. Ia mengandung prinsip-prinsip dan tata nilai yang menjadi pedoman hidup bagi manusia.[5]
Al-Qur’an menjelaskan memuat kandungan-kandungan yang berisi perintah, larangan, anjuran, kisah Islam, ketentuan, hikmah dan sebagainya. Al-Qur’an menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang berakhlakul karimah. Maka dari itulah, ayat-ayat Al-Qur’an menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu syariat.[6]


1.      Kehujjahan Al-Qur’an Menurut Pandangan Ulama Imam Madzab
a.       Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam. Namun, Menurut sebagian besar ulama, imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan jumhu ulama, mengenai Al-Qur’an itu mencakup lafadz dan maknanya atau maknanya saja.
Diantara dalil yang menunjukkan pendapat imam Abu Hanifah bahwa Al-Qur’an adalah maknanya saja adalah ia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab, misalnya dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madarat. Pdahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh, tidak dibolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
b.      Pandangan Imam malik
Menurut Imam Malik hakikat Al-Qur’an adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Imam malik jua sangat keberatan untuk menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai asar, sehingga beliau berkata, “seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an (dengan daya nalar murni), maka akan ku penggal orang itu.”
Dengan demikian, dalam hal ini imam Malik mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT.
c.       Pandangan Imam Syafi’I,
Imam Syafi’I, sebagaimana ulama lainnya, menetapkan bahwa Al-Qur;an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, bahkan beliau berpendapat, “ tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-Qur’an.“ Oleh karena itu, Imam Syafi’I senantiasa mencantukan nash-nash Al-Qur’an setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannya, yaitu deduktif.
Namun, As-Syafi’i menganggap bahwa Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah, karena kaitan antar keduanya sangat erat sekali.
d.      Pandangan Imam Ahamad Ibnu Hambal
Al-Qur’an merupakan sumber dan tiangnya syariat Islam, yang didalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-Qur’an juga mengandung hukum-hukum global dan menjelaskan mengenai aqidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam.[7]
2.      Al-Qur’an Merupakan Dalil Qath’i dan Zhanni
Ayat yang bersifat qath’i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Misalnya ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat. Contohnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 11 dan surat An-Nur ayat 2, dalam kaffarat firman Allah surat Al-Maidah ayat 89.[8]
Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum Zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafal musytarak (mengandung pengertian ganda) yaitu kata ( اَلْقُرُوْءُ ) yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228. Kata quru’ merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kata quru’ diartikan suci, sebagaimana yang dianut ulama imam Syafi’iyah adalah boleh (benar) sebgaimana yang dianut ulama Hanafiyah. Contoh lain terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 38:
السَّارِقُ وَالسَّرِقَةُ فَاقْطَعُوْآ اَيْد ِيَهُمَا جَزآءً بِمَا كَسَبَا
Artinya: “ Laki-laki yang mencuri dan perempuan mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai ) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan.

Kata tangan dalam ayat diatas dimaksudkan adalah tangan kanan atau tangan kiri,  dan juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai  pergelanga saja atau siku.
Penjelasan untuk yang dimaksud dengan tangan ini, ditentukan dalam hadits Rasulullah SAW. Kekuatan hukum kata-kata yang seperti quru’ dalam ayat pertama dan tangan pada ayat kedua, menurut para ulama ushul fiqih bersifat zhunni (relatif  benar). Oleh karena itu, para mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.[9]
3.      Al-Qur’an Sebagai Dalil Kulli dan Juz’i
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum-hukum yang terkandung didalamnya dengan cara:
a.       Juz’i (penjelasan rinci) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum waris, hukum pidana hudud,dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih disebut sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bias dimasuki oleh logika.
b.      Kulli (bersifat global), umum dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci berapa kali sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci benda-benda yang wajib di zakatkan, berapa nisab, zakat, dan berapa kadar yang harus dibayarkan.
Berkaitan dengan hal ini, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa kesempurnaan kandungan Al-Qur’an itu dapat dirangkum menjadi tiga, yaitu:
1.      Teks-teks rinci (juz’i) yang terkandung dalam Al-Qur’an
2.      Teks-teks global (kulli) yang mengandung berbagai kaidah dan kriteria umum ajaran-ajaran Al-Qur’an. Dalam hal ini, Al-Qur’an menyerahkan seluruhnya kepada ulama untuk memahaminya sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki syara’, serta sejalan dengan kemaslahatan umat manusia disegala tempat dan zaman.
3.      Memberikan peluang kepada sumber-sumber hukum Islam lainnya untuk menjawab persoalan kekinian melalui sebagai metode yang dikembangkan para ulama, seperti melalui sunah Rasul, ijma’, qiyas, istihsan, maslahah, istishab, urf, dan dzari’ah. Semua metode ini telah diisyaratkan Al-Quran.[10]



  1. Kehujjahan As-Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Para Ulama sepakat mengatakan bahwa sunnah Rasul dalam bentuk fi’liyah, qouliyah, dan tagrifiyah merupakan sumber asli dari sumber hukum syara’ dan menempati posisi kedua sesudah Al Qur’an.[11]
1.      Kehujjahan Sunnah
Kedudukan Hadits Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja di kalangan Sunni tapi juga di kalangan Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini ini tidak diraih dari pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yag berkuasa tapi diperoleh melalui kehendak Ilahiyah. Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.[12]
Bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih, maka sunnah di sebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya demikian, hadits menjalankan fungsinya sebagai berikut:
a.       Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an yang dikenal dengan istilah fungsi ta’kid dan taqrir,
b.      Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an,
c.       Menetapkan sesuatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak ada dalam Al-Qur’an, fungsi ini serig disebut itsbat.[13]
Tidak ada perbedaan pendapat jumhur ulama tentang sunah Rasul sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an didalam menetapkan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan Al-Qur’an. Oleh Karena itu, wajib bagi umat Islam menerima dan mengamalkan apa yang terkandung didalamnya selama hadits itu sah dari Rasulullah SAW.
2.      Dalil-dalil Kehujjahan Hadits
Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujjahan sunnah dijadikan sumber hukum Islam, yaitu:
a.       Dalil Al Qur’an
Konsekuensi iman kepada Allah adalah taat kepada-NYA, sebagaimana Surat Ali Imron (3:179) yang artinya: “karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya: dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar”.
b.      Dalil Hadits
Diriwayatkan al-Hakim dan Malik, Rasulullah bersabda: “Aku tinggalkan dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Allah dan Sunnahku
c.       Dalil Aqli
Jumhur ulama menyatakan bahwa as-sunnah memiliki kedudukan kedua setelah Al Qur’an. Dalam hal ini, As-Suyuti dan Al-Qasimi memberikan sebuah pemikiran yang rasional dan tekstual. Adapun argumen tersebut, diantaranya: Al Qur’an memiliki sifat qoth’i al wurud, sedangkan As Sunnah bersifat zhanni al wurud. Oleh sebab itu yang bersifat qoth’i harus didahulukan. Selain itu, As Sunnah mempunyai peran sebagai penjabaran dari Al Qur’an. Ini menjelaskan bahwa kedudukan As Sunnah berada di bawah yang di jelaskan (Al Qur’an).
d.      Ijma para Ulama
Menurut Asy Syafi’i, mengatakan: “Aku tidak mendengar seseorangyang dinilai manusia atau oleh dirinya sendiri sebagai seorang alim yang menyalahi kewajiban Allah untuk mengikuti Rasul SAW dan berserah diri atas keputusan-Nya. Allah tidak menjadikan orang setelahnya kecuali agar mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi kecuali berdasar kepda kitab Allah atau Sunnah Rasul-Nya.[14]


3.      Dilalah (petunjuk) Sunah
Dilihat dari petunjuknya (dilalah), hadits sama dengan Al-Qur’an, yaitu bisa qath’iah dilalah dan bisa zhanniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang qath’i da nada yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati pembagian tersebut, namun dalam aplikasinya berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara nisbat As-sunah terhadap Al-Qur’an, para ulama telah sepakat bahwa As-sunah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam A-Qur’an dan juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan As-sunah terhadap A-Qur’an apabila As-sunah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-Qur’an.[15]
4.      Fungsi Sunnah terhadap Al Qur’an
Ada beberapa penjelasan fungsi Hadits terhadap Al Qur’an:
a)      Bayan At-Taqrir
Disebut juga dengan bayan At-Ta’kid atau bayan itsbat yaitu Sunnah berfungsi untuk mengokohkan atau menguatkanapa yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an.
b)      Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud ialah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut. Seperti pada ayat-ayat mujmal,dll. Maka fungsi Hadits dalam hal ini ialah sebagai perinci dan penafsir terhadap ayat-ayat Al Qur’an.
c)      Bayan Al-Tasyri’
Ialah penjelasan-penjelasan tasyri’ yang berupa mengadakan, mewujudkan, atau menetapkansuatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.[16]









BAB III
PENUTUP

Simpulan
Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Secara etimologi,  Kata Al-Qur’an berasal dari kata benda (mashdar) dari kata fiil Qaraa yang berarti membaca / bacaan. Sedangkan secara terminologi, Al Qur’an adalah kalam yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis di dalam mushaf, dinukilkan dengan mutawatir, dan membacanya adalah ibadah.
  2. Sunnah secara literal adalah jalan, baik jalan kebaikan ataupun jalan keburukan, Sedangkan sunnah menurut pemaknaan terminologis, sunnah adalah sabda, perkataan, ketetapan, sifat (watak budi dan jasmani) baik sebelum menjadi Rasulullah SAW
  3. Mengenai kehujjahannya, Al Qur’an ialah sumber utama yang menjadi rujukan dalam menentukan hukum islam.
  4. Mengenai kehujjahannya, As Sunnah menjaji sumber hukum kedua setelah Al Qur’an












DAFTAR PUSTAKA

Abidin Nurdin, 2011, Prinsip-prinsip hukum Islam, Jurnal Hukum Islam, Vol.1,No.1,  http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/dustur/article/download/1194/893
Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol 17, No.2 Tahun 2017,  http://media.neliti.com

Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2010, Kedudukan dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam, Al-FIKR, Vol.14,No.3, hlm 332, http://jurnal.uin-alaudin.ac.id

Khairul Umam,dkk, 2000, Ushul Fiqih 1, Bandung: Cv Pustaka Setia.

Khoiriyah, 2013, Memahami Metodologi Studi Islam, Yogyakarta: Teras.

Nashruddin Baidan, 2005, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta:PUSTAKA PELAJAR

Rachmat Syafe’i, 2015, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Cv Pustaka Setia.

Ramli Makatungkang,2016, Kehujjahan As Sunnah dalam Mengistinbatkan Hukum Islam, Jurnal iain Manado. http://journal.iain.manado.ac.id

Relit Nur Edi, As-Sunnah (Hadits), Jurnal ASAS, Vol 6, No.2 Tahun 2014, hlm 133-136 http://media.neliti.com

Umma Farida, Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: perspektif ushuliyyin dan  muhadditsin, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, hlm 238 , http://journal.stainkudus.ac.id

Tasbih IAIN Sultan Amai, Analisis Historis Sebagai Instrumen Kritik Matan Hadits, Jurnal Al-Ulum, Vol.11, No.1,Juni 2011, hlm 153-154.  http://media.neliti.com











[1] Khoiriyah, 2013, Memahami Metodologi Studi Islam, Yogyakarta: Teras. Hlm:48-49
[2] Nashruddin Baidan, 2005, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta:PUSTAKA PELAJAR. Hlm 15-16
[3] Umma Farida, Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: perspektif ushuliyyin dan  muhadditsin, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, hlm 238 , http://journal.stainkudus.ac.id
[4] Tasbih IAIN Sultan Amai, Analisis Historis Sebagai Instrumen Kritik Matan Hadits, Jurnal Al-Ulum, Vol.11,No.1,Juni 2011, hlm 153-154.  http://media.neliti.com
[5]Abidin Nurdin, 2011, Prinsip-prinsip hukum Islam, Jurnal Hukum Islam, Vol.1,No.1, http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/dustur/article/download/1194/893

[6] Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol 17, No.2 Tahun 2017,  http://media.neliti.com
[7] Rachmat Syafe’i, 2015, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Cv Pustaka Setia. Hlm:51
[8] Khairul Umam,dkk, 2000, Ushul Fiqih 1, Bandung: Cv Pustaka Setia. Hlm: 53

[9] Ibid, Hlm: 54
[10] Khairul Umam,dkk, 2000, Ushul Fiqih 1, Bandung: Cv Pustaka Setia. Hlm: 55
[11] Ramli Makatungkang,2016, Kehujjahan As Sunnah dalam Mengistinbatkan Hukum Islam, Jurnal iain Manado. http://journal.iain.manado.ac.id
[12]Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2010, Kedudukan dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam, Al-FIKR, Vol.14,No.3, hlm 332, http://jurnal.uin-alaudin.ac.id
[13] Ibid, hlm 336
[14] Relit Nur Edi, As-Sunnah (Hadits), Jurnal ASAS, Vol 6, No.2 Tahun 2014, hlm 133-136 http://media.neliti.com
[15] Rachmat Syafe’i, 2015, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Cv Pustaka Setia. Hlm: 65
[16]Op.Cit, hlm 136-138

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Logika - Penyimpulan Langsung, Ekuivalensi, Konversi

Tinjauan Filosofis Tentang Kurikulum

KURIKULUM RAPI WAFIy,, Tugas pengembangan kurikulum